JAILANGKUNG (2017) REVIEW : Mitos Hantu dengan Wajah Baru yang Minim Eksplorasi

JAILANGKUNG (2017) REVIEW : Mitos Hantu dengan Wajah Baru yang Minim Eksplorasi

Mitos tentang sosok tak kasat mata yang dipanggil dengan mantra “datang tak dijemput, pulang tak diantar” ini kembali menghantui penontonnya. Film tentang hantu legendaris ini pernah ada dan mewarnai perfilman Indonesia di tahun 2001 sekaligus menjadi penanda bangkitnya film Indonesia kala itu. Sehingga, sosok hantu ini sudah menjadi sebuah brand yang akan dengan mudah dikonsumsi dan mendapat kepercayaan dari penontonnya.

Sosok hantu legendaris ini kembali ditangani oleh sutradara yang pernah menangani sosok ini di tahun 2001 dengan rejenuvasi nama menjadi Jailangkung sesuai dengan mitos yang ada. Tetapi, mantra yang digunakan dalam ritualnya kali ini pun sudah berubah. “Datang Gendong, Pulang Bopong” menjadi mantra baru untuk memanggil makhluk tak kasat mata ini. Jose Purnomo dan Rizal Mantovani diakuisisi oleh Screenplay Films bersama dengan Legacy Pictures untuk mengarahkan Jailangkung yang dirilis di bulan lebaran 2017 ini.

Selain rejuvenasi nama dari Jelangkung ke Jailangkung, proyek film ini juga memakai nama-nama baru di perfilman Indonesia yang sekaligus memiliki  potensi agar sukses. Jefri Nichol dan Amanda Rawles menjadi pasanan di dalam film yang terbukti mampu mendatangkan penonton lewat Dear Nathan. Formula itu pun digunakan di dalam film dengan genre yang berbeda. Bersama dengan Baskoro Adi Wuryanto, Jose Purnomo dan Rizal Mantovani berusaha menghidupkan lagi mitos hantu legendaris ini untuk disajikan kepada penontonnya.

Dengan kembalinya dua sutradara yang  berhasil menakut-nakuti penontonnya lewat film Jelangkung di tahun 2001, tentu penonton berusaha memiliki harapan terhadap versi terbarunya. Calon penonton tentu masih mengharapkan bagaimana dua sutradara ini memiliki kemagisannya lagi untuk sekali lagi dapat menghantui penontonnya dengan mitos yang sama. Nyatanya, Jailangkung memang memiliki kekuatan yang sangat minimalis. Jailangkung menitikberatkan kekuatannya pada nilai produksi yang menunjukkan bahwa film ini tak dibuat sembarangan.

Jailangkung memiliki berbagai macam kekurangan yang perlu diperhatikan dalam mengarahkan dan menuturkan ceritanya. Meski Jefri Nichol, Amanda Rawles, Hannah Al Rashid, atau pun Lukman Sardi berusaha untuk memberikan performa terbaiknya, tak bisa dipungkiri bahwa Jailangkung secara tertulis dibangun begitu lemah. Jailangkung kebingungan dengan apa yang berusaha disampaikan secara visual. Sehingga, penonton pun akan merasakan banyak sekali pertanyaan yang tak terjawab.

Jailangkung langsung saja dimulai dengan bagaimana Bella (Amanda Rawles) yang sedang berada di rumah sakit menemui ayahnya (Lukman Sardi) yang sedang koma. Bella dan juga kakaknya Angel (Hannah Al-Rashid) berusaha untuk mencari tahu penyebab ayahnya yang tiba-tiba koma dan tak sadarkan diri begitu lama. Informasi pertama yang mereka dapatkan adalah sang Ayah, Ferdi memiliki sebuah rumah lain tempat dia ditemukan dalam kondisi tak sadarkan diri.

Dengan adanya informasi tersebut, Bella berusaha mencari tahu seperti apa di sana. Bella yang putus asa secara tak sengaja mendengar sebuah penjelasan dari Rama (Jefri Nichol) yang membahas tentang mitos-mitos tentang dunia astral. Rama berusaha mencari tahu penyebab dari komanya ayah Bella dan memang ditemukan sebuah fakta bahwa Ferdi, ayah Bella, bermain Jailangkung di area rumah tersebut. Dan sekarang, arwah Ferdi dibawa oleh makhluk halus sehingga dia tak sadarkan diri.

Konflik yang digunakan di dalam film Jailangkung ini sebenarnya bukan lagi hal yang baru di dalam film-film dengan genre serupa. Jailangkung tetap diisi dengan plot cerita yang generik di dalam film horor, tetapi hal itu pula ditambahi dengan keklisean dialog khas film-film milik Screenplay lainnya. Sebenarnya Jailangkung berusaha memberikan mitos baru tentang makhluk tak kasat mata yang secara tak langsung terpanggil di dalam ritualnya. Tetapi, latar belakang cerita dan bagaimana konfliknya terbangun tetap tak bisa dipungkiri bahwa Jailangkung memiliki sesuatu yang generik.

Meski dengan sesuatu yang generik, Jailangkung seharusnya bisa mengolahnya menjadi sesuatu yang dapat dinikmati. Sayangnya, konflik yang generik dan lurus-lurus saja itu tampil dengan terbata-bata. Plot cerita yang seharusnya dapat diikuti begitu saja oleh penontonnya, Jailangkung malah membuatnya begitu rumit tetapi tanpa diarahkan dengan teliti. Sehingga, hal itu berdampak pada performa Jailangkung yang terpisah-pisah dalam penuturannya.

Transisi plot cerita dalam Jailangkung ini tak bisa berjalan dengan baik. Konfilk yang muncul terlalu awal di dalam film ini membuat penonton bertanya-tanya tentang apa yang sedang terjadi. Tetapi penjelasan itu tak dibahas dengan detil, hanya muncul sedikit informasi yang membuat penonton pada akhirnya meraba apa yang berusaha disampaikan oleh Jose Purnomo dan Rizal Mantovani. Permasalahan yang belum selesai dibahas ini masih ditambahi pula dengan cabang cerita yang lain.

Alhasil, dengan durasi yang hanya berkisar 86 menit, penceritaannya terbata-bata tetapi berusaha terlihat komplikasi. Hal itu mempengaruhi penyelesaian dari film ini sendiri yang muncul tak rapi. Penonton kesusahan untuk mendapatkan afirmasi dengan apa yang berusaha diselesaikan oleh para karakternya. Ada rasa ketidakpuasan yang muncul saat film ini berakhir. Penonton merasa butuh penjelasan selanjutnya yang lebih rinci agar penonton mengerti apa yang dimau oleh dua sutradara film Jailangkung ini.  Mungkin ada niatan dari dua sutradaranya untuk hadir menyapa penontonnya di seri kedua. Sehingga, film Jailangkung ini hanya berusaha membangun set-up dunia horor yang baru.

Memang, performa dari para aktor dan aktrisnya berusaha memberikan sesuatu yang terbaik untuk penontonnya di dalam film Jailangkung. Tetapi, hal tersebut tetap tak dapat menutupi celah bagaimana Jailangkung masih belum maksimal dalam pengarahan dan penulisan skenarionya. Sehingga, Jailangkung memang masih belum terlalu maksimal dalam performa isinya. Tetapi, tak dapat dipungkiri bahwa Jailangkung memiliki performa teknis yang digarap tak sembarangan. Gambar dan tata produksi dalam film Jailangkung ini tak memiliki kesan asal-asalan.

Jailangkung memang akan dapat membawa kuantitas raihan penonton dengan nilai yang besar saat diedarkan. Tetapi, kuantitas tersebut tak memiliki relevansi dengan kualitas dari Jailangkung yang belum benar-benar maksimal oleh Jose Purnomo dan Rizal Mantovani. Masih banyak kekurangan-kekurangan yang perlu untuk diperbaiki apabila memutuskan untuk memiliki seri selanjutnya. Pengarahan yang belum maksimal serta cerita yang masih belum dimatangkan lagi menjadi problematika utama dalam performa Jailangkung sebagai sebuah film. Meski dengan plotnya yang generik, film ini masih terbata-bata dalam menuturkan konfliknya. Dampaknya, ada kesan buru-buru serta penjelasan yang belum tersampaikan dengan maksimal dan hal tersebut tak dapat memuaskan penontonnya.

Posting Komentar

Copyright © Movie Review Cinema 21 | Distributed by Blogger Templates | Designed by OddThemes