ATHIRAH (2016) REVIEW : Urgensi, Relevansi, dan Intimasi dalam Film Biografi

ATHIRAH (2016) REVIEW : Urgensi, Relevansi, dan Intimasi dalam Film Biografi

Urgensi, kata yang sempurna dan selalu menjadi poin menarik pada setiap film-film mengenai seseorang atau biografi. Menilik tujuan seperti apa yang ingin diwujudkan lewat beberapa sineas selesainya merampungkan proyek film biografi. Beberapa poin ini memang terkadang masih terkesan bias, karena terdapat kepentingan politik yang berusaha ingin disampaikan. Memang, film sejatinya mampu digunakan sebagai alternatif penyampaian pesan, film memiliki misi dari pembuatnya. Sehingga, metode ini kerap dipakai menjadi medium buat membentuk atau mengembalikan sebuah citra.

Juga ada Relevansi, istilah yang tepat sesudah menonton sebuah film biografi. Apa yang berusaha dibangun & ingin disampaikan sang menonton akan berdampak pada bagaimana seseorang memiliki kerangka berpikir dengan sosok tersebut. Dua poin itu juga yg membuat Riri Riza ingin mengabadikan secara visual tentang sosok Ibu Jusuf Kalla bernama Athirah. Memoir tentang Athirah sudah pertama kali dituliskan ke dalam bentuk kitab oleh Albethiene Endah. Sehingga, ?Athirah? Versi film ini merupakan adaptasi berdasarkan buku dengan judul sama.

Delusi merupakan hal yg terkadang mewarnai sebuah film biografi yang sedang membangun gambaran pulang. Maka, alih-alih sebagai sebuah cerita menurut orangnya asli, semuanya nampak misalnya sebuah cerita fiksi. Sehingga, orang-orang terkadang mempertanyakan sebuah pembuktian dalam sebuah kisah dalam filmnya sebagai komunikator. Lantas, hal tersebut sepertinya membuat Riri Riza berhati-hati dalam menyampaikan pesan pada film ?Athirah?. Kekuatannya terdapat pada narasi dari naskah adaptasi yang ditulis secara kooperatif oleh Riri Riza dan Salman Aristo serta pengarahannya yg detil.

Athirah (Cut Mini) & Puang Haji Kalla (Arman Dewarti) membentuk sebuah keluarga mini yang bahagia dan serba berkecukupan. Puang Haji Kalla sebagai sosok yang dihormati di aneka macam kalangan orang Makassar. Namun, akan sesuatu hal, cengkrama antar Puang Haji Kalla dan Athirah mengendur tiba-datang. Nyatanya, Puang Haji Kalla sudah memikat hati wanita lain & Athirah mencicipi sebuah pengkhianatan pernikahan yang amat dahsyat.

Tak lama setelah itu, Athirah wajib bangkit & meninggalkan segala jenis sakit hatinya agar bisa terus bertahan hayati. Menghidupi anak-anaknya terutama Ucu (Christoffer Nelwan), yg selalu senantiasa mendampingi transisi kehidupan Ibundanya. Athirah sedikit-sedikit menguatkan hatinya agar tak biasa bergantung menggunakan Puang Haji Kalla. Tetapi, problematika yang ada pada kehidupan Athirah semakin dilematis. Puang Haji Kalla pulang ke Athirah & membuatnya mengingat akan puing-puing masa lalunya.

Inspiratif tanpa perlu membuatnya misalnya menaruh dakwah merupakan tujuan Riri Riza pada mengemas Athirah. Alih-alih menekankan Athirah sebagai sebuah film Inspiratif, nyatanya Riri Riza ingin menciptakan adanya relevansi pada benak penonton. Muncul sebuah kesan, bahwa Athirah adalah sosok yang perlu diberi sorotan lebih, apalagi, sosoknya sebagai perempuan . Tak perlu sebuah insiden hidup yang megah sebagai titik kembali, hanya sebagai seseorang perempuan biasa yang bisa bertahan hayati sendiri sebagai kekuatan menurut sosok Athirah ini.

Terlepas dari Athirah adalah sebuah film yang sedang menceritakan tentang seseorang di balik sosok mahsyur negeri ini, Riri Riza memanfaatkannya sebagai medium berbicara tentang perempuan. Riri Riza merangkum segala pesan tentang kesetaraan gender dengan penuh elegansi dalam bertutur, bukan sekedar menunjukkan superioritas ilmu tentang feminisme secara bar bar. Permainan narasi  dalam film Athirah adalah kunci utama dari film ini. Tanpa perlu bicara banyak dengan dialog yang menggurui, Athirah akan berdampak besar kepada penontonnya dengan visual kuat yang dimiliki.

Athirah merupakan gambaran seseorang wanita lintas zaman yang masih mempunyai relevansi menggunakan problematika masa sekarang. Bagaimana Athirah menjadi seseorang perempuan bisa menjadi tolak ukur menggunakan aneka macam atribut yang tidak jauh menurut kehidupan sosial masyarakat pada sekitarnya. Terutama sosial masyarakat pada Indonesia yang masih menganut segala pendekatan budaya timur pada menjalin interaksi. Menunjukkan bahwa Athirah yg mewakili wanita Indonesia juga masih memiliki keterbatasan dalam mengungkapkan opini & haknya menjadi perempuan dan manusia.

Di sinilah Riri Riza bermain menggunakan medium yg beliau miliki. Film ?Athirah? Bukan hanya sebagai film tentang seseorang, namun jua bermain dalam daerah bunyi buat perempuan Indonesia. Sehingga, tak terdapat eksklusivitas yg terjadi dalam sosok Athirah dan tak mengakibatkan imbas alienasi antara karakter & penontonnya. Penonton yang minim ilmu feminisme & gender pun masih bisa merogoh sebuah kesimpulan akbar mengenai kekuatan seorang perempuan di pada lingkungan sosial rakyat.

Intimasi, poin yg ingin dibangun lagi sang Riri Riza lewat bagaimana karakter-karakter menampakkan diri pada kamera. Dilema Athirah menjadi seorang karakter pada dalam film, --bahkan sosok krusial di dunia nyata --ini berusaha membangun rekanan menggunakan penontonnya. Cara Riri Riza dalam menciptakan intimasi itu adalah menggunakan menunjukkan raut mukanya lewat pencahayaan & pengambilan gambar yang sempurna. Maka, penonton akan bisa mengidentifikasi tujuan menurut Riri Riza di pada film ?Athirah? Tentang sosok Athirah itu sendiri. Penonton berusaha berkoneksi menggunakan Athirah yg sedang berusaha mengungkapkan posisinya di bumi ini.

Riri Riza berusaha membangun pesan non verbal yang masih mempunyai sisi deskriptif yang luar biasa unik, tidak selaras menggunakan beberapa film yg berusaha penuh metafora lainnya. Athirah memang tak menyampaikan pesannya terlalu gamblang, namun masih punya cara & Riri Riza memahami akan kewajibannya buat menuntun penontonnya menerima pesan tadi. Masih ada sebuah plot linear yg terdapat di dalam Athirah sebagai akibatnya penonton merasakan sebuah transisi yg terjadi di dalam para karakternya.

Tak perlu obrolan yg berakumulasi, nyatanya film Athirah bisa memberikan sebuah permainan emosi yg Indah sebagai sebuah film biografi. Film Athirah bermain secara visual dengan transisi seperlunya yg dapat menyebabkan sebuah kontemplasi yg tidak manipulatif. Penyampaian pesan yg bisa diterima secara luas adalah prinsip yg masih dipegang teguh oleh Riri Riza, sebagai akibatnya film Athirah tak melupakan kewajibannya menjadi pembuat pesan dibalik idealisme miliknya waktu mengemas pesan ini sendiri.

Riri Riza tak perlu berusaha keras menjadikan filmnya sebuah film biografi inspiratif, tetapi tujuannya adalah untuk membangun ‘Athirah’ mendapat atensi secara visual. Tak perlu terlalu bar bar menunjukkan superioritas akan berbagai ilmu dan teori, ‘Athirah’ adalah sebuah pesan universal untuk mempertanyakan posisi perempuan Indonesia masa kini saat menyampaikan sebuah opini. Meski ‘Athirah’ minim akan  pesannya secara verbal, ini adalah kekuatan dari filnya sendiri. Masih ada kewajiban Riri Riza untuk menyampaikan pesan kepada penontonnya dengan caranya sendiri. Bukan hanya sekedar kontemplasi yang manipulatif atau terkesan seperti cerita fiksi, tetapi ada cara sendiri lewat personifikasi yang tampil penuh akan urgensi, relevansi, dan intimasi yang hadir memikat penontonnya.

Posting Komentar

Copyright © Movie Review Cinema 21 | Distributed by Blogger Templates | Designed by OddThemes