Apabila sudah pernah membaca A Monster Calls milik Patrick Ness, tentu kalian akan menantikan bagaimana film adaptasi menurut kitab yang menang penghargaan. Ya, A Monster Calls menerima kesempatan buat akhirnya menjadi sebuah perjalanan visual adaptasi. Apabila telah pernah membaca & bermimpi akan disesuaikan sebagai film, mungkin akan terpikirkan nama Guilermo Del Toro yg mumpuni pada membicarakan pesan tadi ke pada sebuah gambar bergerak.
Sayangnya, Guilermo Del Toro tak menjadi pengarah adegan dari A Monster Calls. Proyek ini ternyata berada pada tangan J.A. Bayona yg sudah pernah menangani film-film serupa. Sebut saja The Orphanage & The Impossible, cita rasanya 2 karya miliknya telah relatif menjadi referensi atas kapabilitas J.A. Bayona menjadi pengarah adegan. Sehingga, A Monster Calls diarahkan oleh J.A. Bayona rasanya telah cukup berpengaruh besar pada gaya penuturan film adaptasinya.
Beruntungnya lagi, A Monster Calls masih menggunakan Patrick Ness sebagai penulis naskahnya. Harapan film A Monster Calls sebagai sebuah film adaptasi yang mencuri perhatian seakan-akan semakin besar. Bagi pembaca mau pun non pembaca, boleh saja berharap baik akan performa A Monster Calls karena J.A. Bayona dan Patrick Ness mempunyai visi yang sama dalam mengarahkan proyek adaptasi ini. A Monster Calls bukan hanya sekedar sebuah film fantasi dengan nuansa gelap yang sekedar bersenang-senang. Ada pelajaran tentang arti kehidupan dan nilai-nilai lainnya yang bermain sangat kuat.
A Monster Calls mampu dibilang merupakan sebuah film tentang transisi fase usia yg dialami oleh anak-anak menuju remaja. Problematika yg dilematis ketika mengalami transisi tersebut ini yg berusaha digali pada dalam A Monster Calls, baik dalam kitab juga film adaptasinya. Faktor pembeda adalah pemilihan pendekatan yang dilakukan A Monster Calls yang lebih condong ke arah fantasi. Hal ini mungkin dipilih agar audiens menjadi komunikan mencari makna yang lebih dalam lagi terhadap pesan yang disampaikan di dalam A Monster Calls.
J.A. Bayona berhasil menangkap segala semangat yang sudah ditulis oleh Patrick Ness di dalam A Monster Calls. Sehingga, penonton akan menerima efek yang luar biasa bertenaga sesudah menonton A Monster Calls. Meski menggunakan pemilihannya sebagai film Fantasi, A Monster Calls punya cara untuk menyampaikan pesannya dengan emosional. Tujuannya merupakan A Monster Calls tak hanya sebuah film fantasi yang glamor namun juga hangat dan tidak terasa air mata akan jatuh ke pipi saat adegan kunci di dalam film ini.
Menceritakan bagaimana Conor (Lewis MacDougall) yang sehari-harinya berusaha hayati berdikari. Dia tinggal beserta dengan Sang Ibu (Felicity Jones) yg sedang mengidap penyakit. Conor memiliki kehidupan yg bahkan jauh dari kata menyenangkan, yang mana membuatnya lebih senang buat membentuk dunianya sendiri lewat gambar-gambar yang beliau buat. Suatu hari, dia melihat pohon disudut lain rumahnya & sempurna dalam jam eksklusif pohon tersebut berubah sebagai Monster yg mendatangi Conor.
Sang monster (Liam Neeson) berusaha buat menanyai Conor tentang banyak hal terutama menggunakan mimpinya belakangan yang seringkali membangunkannya. Tetapi, Conor enggan menceritakan detil cerita tentang mimpi yg dialaminya. Tetapi, Monster tadi memaksa Conor buat menceritakan segala hal mengenai mimpinya setelah Monster tersebut selesai menceritakan 3 cerita kepadanya. Jika tidak, Conor akan menerima balasan yg setimpal.
Keanggunan J.A. Bayona dalam mempresentasikan adaptasi A Monster Calls inilah yang menjadi kekuatan. Pengarahan J.A. Bayona berhasil menumbuhkan simpati kepada penontonnya terhadap karakter-karakter rekaan A Monster Calls. Sehingga, A Monster Calls punya kemasan yang berbeda dengan pemilihan genre-nya. J.A. Bayona perlahan-lahan membangun relevansi dari karakter ke penonton, sehingga karakternya punya kesempatan untuk mengembangkan dirinya atau menjadi multidimensional.
A Monster Calls mengusung bagaimana dilema kehidupan Conor yang sedang mengalami transisi. Mengenalkan bagaimana problematika sosial mengenai ruang opini eksklusif seseorang yang berhak mendapatkan porsi yg sama. Conor yg menuju remaja, berusaha buat mendapatkan atensi menurut aneka macam pihak, apalagi keluarganya. Bagaimana Conor sudah mendapatkan kewenangan buat tetapkan sendiri apa yg beliau inginkan pada hidupnya.
Juga, A Monster Calls menceritakan mengenai bagaimana mencintai orang yang sahih-benar dekat dengan kita. Mencintai yg tak membebani, & pula berusaha supaya orang yg dekat tadi jua senang menggunakan kita. J.A. Bayona menancapkan nilai-nilai kehidupan itu pada kehidupan Conor menggunakan dramatisasi yg sangat pas. Sehingga, A Monster Calls memiliki klimaks yang sahih-benar tak bisa ditahan sang penontonnya buat tergugah hatinya bahkan menitihkan air matanya menggunakan sukarela.
Jangan lupakan juga bagaimana setiap aktor dan aktrisnya yang mampu bermain seirama dan semakin memperkuat semangat A Monster Calls sebagai sebuah film yang kuat. Lewis MacDougall sebagai pendatang baru berhasil membuat karakter Conor sangat hidup dan dekat dengan penontonnya. Ikatan emosinya juga begitu nyata dengan Felicity Jones yang berperan sebagai Ibu. Perannya dengan screen time yang minimalis berhasil mematahkan hati penontonnya.
Dengan segala cara lain & pengemasan di dalamnya, A Monster Calls merupakan sebuah film transisi fase kehidupan anak-anak ke remaja menggunakan kemasan fantasi bernuansa kelam. J.A. Bayona berhasil mengarahkan sebuah adaptasi berdasarkan kitab Patrick Ness dengan bangunan emosi yang sangat kuat. Pun, A Monster Calls punya banyak nilai-nilai dan pesan-pesan sosial yg tertangkap pada dalamnya. Karakter-karakternya yg multidimensional akan mempermudah penontonnya buat menaruh simpati dan dalam adegan kunci di dalam film A Monster Calls penontonnya akan sukarela menitihkan air mata. Dan sekali lagi, J.A. Bayona berhasil bermain dengan emosi penontonnya menggunakan dramtisasi yang pas. Bagus!
Posting Komentar