The Invisible Man (2020) Review: Thriller dengan Isu Domestik yang Menegangkan

The Invisible Man (2020) Review: Thriller dengan Isu Domestik yang Menegangkan

Mendengar judul ini, seharusnya film ini akan dibuat sebagai film follow-up menurut The Mummy yg sebagai bagian berdasarkan Dark Cinematic Universe. Sayang, di pertengahan jalan, proyek itu wajib berhenti karena performa The Mummy yang tak baik di box office domestik. Iya, secara penghasilan worldwide, The Mummy masih cukup baik. Meski, penonton jua mengeluhkan betapa bosannya film yg diarahkan sang Alex Kurtzman.

Maka berdasarkan itu, The Invisible Man ini berubah arah. Dari menggunakan Johnny Depp sebagai bintang utamanya menjadi Elisabeth Moss. Tapi, tetap saja film ini merupakan adaptasi berdasarkan novel karya H.G. Wells. The Invisible Man disutradarai oleh Leigh Whannel yang sempat terangkat namanya waktu menyutradarai Insidious: Chapter tiga dan Upgrade. Tentu saja dengan semua rekam jejaknya, The Invisible Man akan menitikberatkan filmnya sebagai sebuah film horor.

Ini kentara tidak sama jauh dengan tujuan primer The Invisible Man di awal-awal yg akan menerangkan classic monsters sesuai menggunakan film sebelumnya. Tetapi, bukan berarti berbeda menggunakan tujuan awal akan membuat film ini tidak mempunyai performa prima, kan?

Maka menurut itu, sambutlah sebuah cerita yang dibuka dengan sebuah adegan yg sangat menegangkan. 10 mnt pertama film ini, penonton sudah dihajar menggunakan banyaknya ketidakpastian yang membuat penontonnya bertanya-tanya namun bisa masuk mencicipi intensitasnya. Cecilia (Elisabeth Moss) sedang berusaha kabur dari tempat tinggal sang suami. Dia ternyata sudah merencanakannya semenjak jauh-jauh hari.

Iya, beliau sedang tidak nyaman menggunakan kelakuan oleh Suami, Adrian Griffin (Oliver Jackson-Cohen) sampai membuatnya tak tahan lagi. Namun, hal ini tidak lantas membuat Cecilia sanggup pulang menjalani hidupnya normal lagi. Dia tetap dihantui oleh perilaku Adrian yg membuatnya merasa tak kondusif. Namun, hal mengejutkan terjadi. Adrian ternyata ditemukan mangkat bunuh diri. Cecilia menerima warisan berdasarkan Adrian tetapi ternyata teror baru bagi dirinya baru dimulai hari ini

Tak hanya Cecilia yang merasakan teror menurut Adrian. Tetapi, penonton juga empati teror Adrian.

Artinya, Leigh Whannel menjadi sutradara berhasil mengarahkan The Invisible Man dengan baik. Buktinya, segala intensitas yang ada di dalam film ini sanggup dirasakan oleh penontonnya. Leigh Whannel tahu sahih memanfaatkan konsep creature-nya. Sehingga, teror demi teror datang di setiap menitnya. The Invisible Man ini memang memberikan sebuah perubahan dalam adaptasinya.

Ada penambahan unsur fiksi ilmiah di dalam film ini ditambah dengan misteri yg berusaha disebar di sepanjang film. Sehingga, penonton pun penasaran misalnya apa The Invisible Man ini akan diselesaikan. Penulisan naskahnya pun sangat pintar. Ada set-up cerita yang dibuat menggunakan pondasi yg sangat bertenaga buat membentuk tensi dan misterinya. Sehingga, film ini bukan sekedar merapatkan tensi misalnya yang dilakukan oleh film-film serupa. Apabila penulisannya tidak diperhatikan, maka film ini bisa jatuh ke sajian yg itu-itu saja.

Meski The Invisible Man merentang sampai 124 mnt, tetapi dijamin tidak akan muncul perasaan bosan. Sebuah atmosfir horor dibangun begitu bertenaga oleh Leigh Whannel. Sebuah adegan yg memperlihatkan kekosongan saja mampu mengakibatkan perasaan tidak nyaman & jantung berdebar bagi penontonnya. Seru memang, sepanjang film merasakan sebuah teror berdasarkan makhluk yang wujudnya pun tidak terlihat.

Tak hanya pengarahannya yang brilian, tetapi jua akting Elisabeth Moss yang sangat meyakinkan. Dirinya berhasil menangkap kegelisahan menurut penonton yg terteror dengan makhluk yang tidak kasat mata di layar. Tanpa performanya yg kuat, tentu film ini jua tak akan bisa tampil gemilang. Bahkan, berkat penampilannya pun, berhasil menggali lebih pada sebuah pesan yang sebenarnya secara implisit menampar penontonnya.

The Invisible Man ingin sekali mengungkapkan poly pesan mengenai sebuah sistem sosial & gender pada pada filmnya. Menyelipkannya pada kisah-kisah yang seru & mise en scene yang mendukung menciptakan pesan di dalam The Invisible Man ini tersampaikan dengan cara yg lebih subtil.

Ini adalah sebuah citra mengenai perempuan & problematikan hidup di global

Perempuan selalu menjadi korban atas kedigdayaan seseorang laki-laki . Bahkan, dunia pun tak jarang mendapatkan sebuatan ?Man?S world?. Sebegitu jahatnya global yang ternyata sangat berpihak kepada laki-laki ini. Film ini berusaha memperlihatkan bagaimana perempuan berjuang buat mendapatkan haknya memilih jalan hidupnya sendiri saja susahnya 1/2 mati.

Adrian, ditemukan bunuh diri namun digambarkan masih saja meneror sang istri. Iya, pada wujudnya yang tidak kasat mata saja, perempuan masih saja merasa tidak aman menurut agresi teror pria. Perempuan dikontrol, tak bebas, tidak punya banyak pilihan, dan menjadi pusat perhatian. Seakan-akan semua orang ingin mengatur wanita supaya pulang ke ?Kodratnya?.

Hal ini muncul kentara dalam mise-en-scene yg membekas pada ingatan. Adegan pada waktu Cecilia menghadap ke sebuah cermin & sedang ingin mencoba pakaian barunya. Pergerakan kamera seakan-akan menjadi ?Mata? Adrian sebagai pria yang menyorot Cecilia sebagai perempuan . Tentu, Cecilia merasa tidak nyaman & penuh akan intimidasi padahal yg memperhatikan berdasarkan belakang pun tak kasat mata.

Budaya di global ini acap kali membuat perempuan menjadi objektifikasi. Diperhatikan oleh banyak kebiasaan yang mensugesti bagaimana perempuan merogoh langkah selanjutnya. Namun, norma-norma itu terkonstruksi atas budaya patriarki yang memberitahuakn kekuatan laki-laki di global ini meski dalam wujud yg tidak kasat mata sekalipun misalnya Adrian pada film ini.

The Invisible Man tak hanya sekedar sebagai sebuah film horor menggunakan unsur fiksi ilmiah yg menegangkan buat disaksikan. Namun, pula sebagai tempat buat menggambarkan realita mengenai bagaimana masih banyaknya ketimpangan perempuan dan pria di global ini. Kalau saja tidak mampu menangkap pesan subtil di dalam filmnya, setidaknya kalian masih mampu merasakan tensinya yang mungkin bisa lebih padat tetapi masih bekerja sangat efektif buat mencengkram penontonnya. Bagus!

Posting Komentar

Copyright © Movie Review Cinema 21 | Distributed by Blogger Templates | Designed by OddThemes