RUDY HABIBIE (2016) REVIEW : Perjalanan Panjang Nan Terjal Sosok Ternama

RUDY HABIBIE (2016) REVIEW : Perjalanan Panjang Nan Terjal Sosok Ternama

Pembuat film Indonesia memang tak henti-hentinya mengembangkan film biopik dari sosok orang populer. Ini layaknya sebuah tren bagi mereka untuk mensugesti calon penontonnya supaya berbondong-bondong pergi ke bioskop. Salah satunya adalah menyebarkan sebuah film biopik dari presiden-presiden Republik Indonesia. Pak B.J. Habibie sempat mendulang sukses dengan film romansa sejatinya menggunakan Ibu mendiang Ainun dalam tahun 2012.

Seperti berusaha untuk menggaet lebih besar lagi, kisah tentang sosok presiden ketiga Indonesia ini pun dibuatkan sebuah prekuel. MD Entertainment seperti ingin mencoba lagi kesuksesan dari Habibie & Ainun yang mencapai 4,5 juta penonton pada tahun tersebut. Hanung Bramantyo pun didapuk sebagai pengarah dari prekuel cerita kehidupan sang mantan presiden Republik Indonesia kali ini. Rudy Habibie diangkat dari sebuah novel yang ditulis oleh Gina S. Noer.

Beragam komentar muncul sejak film Habibie & Ainun dirilis. Ada yang suka, pun ada pula yang menganggap kesuksesan film tersebut hanya karena jajaran pemainnya yang berlakon sangat apik. Maka, tak heran jika hype yang muncul untuk film Rudy Habibie pun memiliki komentar yang beragam. Maka, Hanung Bramantyo pun perlu pembuktian dalam presentasinya agar Rudy Habibie tak sekedar mendapat tatapan sinis dari calon penikmatnya.

Lantas, Rudy Habibie pun memberikan sebuah presentasi yang belum bisa memuaskan hati penontonnya. Banyak celah-celah yang perlu diperbaiki dan diperhatikan lebih lagi agar Rudy Habibie menjadi sebuah presentasi yang menyenangkan untuk diikuti. Apalagi, Rudy Habibie memiliki durasi sekitar 140 menit. Jelas, sang sutradara perlu menjaga setiap aspek cerita agar Rudy Habibie tak menjadi sebuah film yang enak diikuti. Sayangnya, Rudy Habibie tak memiliki itu.

Rudy Habibie terpecah menjadi dua babak cerita yang memiliki nada cerita yang berbeda. Cerita pertama tentang bagaimana Rudy Habibie (Reza Rahadian) sedang menjalani kehidupannya sebagai seorang mahasiswa di negara Jerman. Di sana, dia menjadi salah satu mahasiswa yang berprestasi baik bidang akademis maupun non akademis. Namun, kehidupannya tak berjalan mulus ketika Rudy menjadi ketua atas organisasi pemuda Indonesia di sana.

Rudy berusaha untuk mengadakan konferensi tentang industri penerbangan yang dapat membangun Indonesia bersama teman-temannya. Hingga pada akhirnya ia bertemu dengan wanita cantik bernama Ilona (Chelsea Islan) sebagai pemanis cerita cinta Rudy. Di setiap usahanya untuk menemukan solusi atas problematikanya, film ini menggunakan dasar cerita Rudy kecil yang sangat dekat dengan bapaknya (Donny Damara) yang sudah meninggal. Tetapi, terjadi inkonsistensi dalam penyampaian ceritanya sehingga dua plot cerita tersebut menjadi tak senada.

Proyek ini memang sudah sangat ambisius semenjak film ini belum dirilis oleh MD Entertainment. Dan rasa ambisius film ini semakin menguat terlihat dengan bagaimana presentasi ceritanya secara keseluruhan. Hanung Bramantyo dan Gina S. Noer selaku penulis naskah terlalu ingin menyampaikan semua problematika hidup Habibie muda. Sehingga, konflik film ini pun melebar karena subplot cerita di dalam film ini terlalu banyak. Itulah yang menjadikan presentasi dari sosok Rudy Habibie tak karuan.

Dengan durasi sepanjang 140 menit, ternyata tak menjadikan Rudy Habibie memiliki ruang gerak untuk memunculkan sebuah ekplorasi di satu plot utama dan penyelesaiannya. Alih-alih terfokus atas satu problematikanya, Rudy Habibie pun merumitkan dirinya sendiri. Sang sutradara pun seperti bingung harus menyampaikan apa di dalam filmnya tersebut. Sehingga, penonton tak dapat menangkap tujuan akhir yang ingin dicapai oleh film Rudy Habibie.

Hal tersebut juga berkat penyampaian sebuah resolusi masalah yang terkesan dipermudah. Seperti apa yang dipegang teguh oleh sang karakter utama bahwasanya menjadi seseorang harus seperti air yang mengalir, maka itu pula yang dipegang untuk dijadikan pedoman dalam menyelesaikan babak akhir filmnya. Ya, buat saja sang karakter utama seputih mungkin hingga sang antagonis akan berperilaku baik sendiri dengan sang karakter utama. Itulah yang membuat film Rudy Habibie yang kaya akan subplot tetapi minim atas eksplorasi dalam penyelesaiannya.

Habibie & Ainun mungkin berhasil memberikan sebuah representasi atas sosok presiden ketiga Republik Indonesia sehingga membuat penontonnya dapat bersimpati. Tetapi, ada rasa yang berbeda ketika menyaksikan film Rudy Habibie yang juga menceritakan orang yang sama. Rudy Habibie yang terlalu ambisius tak bisa menangkap simpati penontonnya. Adanya sebuah hiper realitas yang terjadi di dalam filmnya, di mana sang pembuat filmnya sendiri tak bisa membedakan fakta dan unsur fiktifnya. Sehingga, Rudy Habibie pun terkesan menjadi sebuah film fiktif atas sosok nyata di masyarakat.

Maka, Rudy Habibie pun terlihat sebagai sebuah adaptasi bebas, tak bisa digunakan sebagai acuan untuk penikmatnya sebagai sebuah perjalanan histori kehidupan pak Habibie. Penonton mungkin akan bertanya-tanya akan validitas atas kebenaran yang tersaji di dalam film Rudy Habibie. Akan muncul pertanyaan-pertanyaan ‘apakah benar sosok Rudy Habibie dulu seperti itu?’. Hal tersebut muncul bagaimana penggambaran yang mungkin terlihat kurang tepat di dalam filmnya.

Pun, secara teknis, Rudy Habibie tak terlihat ada sesuatu yang spesial. Berbeda dengan Habibie & Ainun yang berhasil menangkap gambar-gambar cantik di dalamnya, Rudy Habibie mungkin minim akan itu. Pula dengan tatanan teknis lainnya seperti tata suara dan editing yang terlihat bagaimana Rudy Habibie sepertinya kurang memperhatikan hal tersebut. Sehingga, Rudy Habibie minim akan sesuatu yang spesial yang mempercantik presentasinya.

Rudy Habibie jelas akan menjadi sebuah franchise bagi MD Entertainment yang akan  meraup jutaan penonton, asal formulanya tak membuat penonton jengah. Setelah berhasil menaikkan citra mantan presiden ketiga Republik Indonesia lewat Habibie & Ainun, ternyata Rudy Habibie adalah sebuah penurunan citra atas sebuah representasi yang melupakan sebuah fakta. Maka, jalinan Rudy Habibie yang berdasarkan sosok nyata masyarakat malah menimbulkan sebuah tanya. Pun, dengan presentasi cerita penuh inkonsistensi yang terjalin panjang selama 140 menit. Maka, penonton pun akan penuh perjuangan untuk menyelesaikan cerita hidup pak Habibie muda.

Posting Komentar

Copyright © Movie Review Cinema 21 | Distributed by Blogger Templates | Designed by OddThemes