Film-film spionase dan agen misteri akhir-akhir pada beberapa tahun terakhir ini poly dihidupkan pulang. Pun, beberapa adaptasi berdasarkan beberapa ikon-ikon spionase usang pun dikenalkan balik kepada penonton-penonton abad 21 ini. Dianggapnya berhasil mengundang penonton, pun para sineas Hollywood mencari ikon mana yang akan digarap ulang sebagai sebuah film berdurasi penuh buat film layar lebar.
Tahun ini keliru satunya adalah The Man From U.N.C.L.E yang diadaptasi menurut serial televisi menggunakan judul yg sama dan sukses di tahun 1960-an. Proyek ini pun ditangani sang Guy Ritchie yg sebelumnya pernah berhasil lewat Dwilogi Sherlock Holmes & sebagai pemanasan sebelum seri ketiga, beliau menangani proyek film ini. The Man From U.N.C.L.E dibintangi sang Henry Cavill dan Armie Hammer menjadi pemeran utamanya.
Memiliki premis yang serupa menggunakan banyak sekali film-film bertema sama, tentu sebagai kendala bagi The Man From U.N.C.L.E buat sebagai yang tidak selaras. Namun di tangan Guy Ritchie, The Man From U.N.C.L.E memiliki signature khas miliknya yg tidak sama. Signature milik Guy Ritchie yang mempunyai banyak gaya yang asyik dalam mengadegankan cerita menciptakan The Man From U.N.C.L.E setidaknya menarik buat disimak. Hanya saja, Guy Ritchie kehilangan emosi yang menciptakan The Man From U.N.C.L.E tak tampil begitu luar biasa.
Dua negara yg sedang berseteru, Amerika dan Rusia, memiliki dua agen mata-mata yang awalnya saling mengejar satu sama lain. Dua mata-mata itu adalah Napoleon Solo (Henry Cavill) & Ilya Kuryakin (Armie Hammer). Setelah beberapa kali berseteru, mereka pun dipaksa bekerjasama dalam satu misi yg ditugaskan pribadi oleh kedua petinggi mereka. Mereka harus melacak sebuah organisasi kejahatan yang dibuat oleh Nazi untuk menyebarkan senjata Nuklir.
Solo & Kuryakin yang memiliki latar belakang yang tidak sama, kentara merasa kesusahan buat bekerjasama dengan baik satu sama lain. Mereka pun bersaing buat menjadi yang terbaik meski terdapat dalam satu misi. Ada Gaby (Alicia Vikander) yang harus mereka libatkan lantaran ayahnya adalah galat satu orang yang terdapat di dalam organisasi tadi. Napoleon dan Kuryakin menyamar menjadi orang yg terdapat di dalam kehidupan Gaby agar bisa masuk ke pada organisasi tadi.
Premis-premis cerita misalnya ini memang telah terlalu sering ditemui pada beberapa film bertema serupa. Jelas, hadirnya The Man From U.N.C.L.E bukan buat sebagai sesuatu yang tidak sinkron, namun buat menjadikannya sebuah popcorn movie pada saat senggang. Tujuan The Man From U.N.C.L.E buat sebagai film seperti itu memang tercapai dengan sangat baik. Hanya saja, sesudah film berakhir & penonton keluar dari teater mereka akan lupa beberapa detil cerita berdasarkan film The Man From U.N.C.L.E.
The Man From U.N.C.L.E bukanlah presentasi yang paripurna meskipun permanen sebagai hidangan yg menyenangkan. Beberapa adegan aksinya pun digarap semenarik mungkin supaya penonton permanen betah dengan 115 mnt film ini. Tetapi Guy Ritchie kehilangan satu poin penting agar mampu menarik perhatian penonton sampai merasa simpati dengan karakter maupun permasalahan pada pada filmnya. Emosi, Guy Ritchie kehilangan itu di pada presentasi The Man From U.N.C.L.E pada sepanjang durasinya.
Setiap adegan aksinya tidak mempunyai kekuatan buat memikat penontonnya. Semua terjadi begitu saja & Guy Ritchie terlihat pasrah dalam mengarahkan The Man From U.N.C.L.E. Adegan aksinya pun tidak terdapat yg megah dan bahkan tidak se-stylish film-film Guy Ritchie sebelumnya. Fireshot, Car-chase, and fighting scene tak ada yang sanggup mencapai rasa titik puncak yg pas pada dalam setiap adegannya. Sehingga, The Man From U.N.C.L.E tidak membekas begitu usang di benak penontonnya.
Bagaimana Guy Ritchie menyampaikan plot cerita yang penuh intrik itu pun tak sekuat Sherlock Holmes. The Man From U.N.C.L.E pun memiliki beberapa plot twist yang diselipkan di beberapa adegan filmnya. Sayangnya, Guy Ritchie tak mengolah dan menyampaikan cerita-cerita itu dengan penuh kekuatan dan hasilnya cerita-cerita turning point itu pun melempem. Mungkin penonton hanya bergumam “oh” ketika cerita itu berusaha disampaikan di tengah filmnya.
Pun, menggunakan durasi yg mencapai dua jam, permasalahan The Man From U.N.C.L.E pun terasa diulur-ulur. Paruh tengah film The Man From U.N.C.L.E terihat bagaimana Guy Ritchie terlihat kebingungan mau diisi apa lagi supaya film ini memiliki rasa yg menyenangkan, meskipun hal tadi gagal dicapai olehnya. Beruntungnya, The Man From U.N.C.L.E memiliki beberapa lawak-lawak segar yang membuat filmnya tak melulu membuat cemberut para penontonnya.
Guy Ritchie terlihat menciptakan The Man From U.N.C.L.E bermain di comfort zone agar tak terlalu menciptakan film ini jatuh pamornya. Meski begitu, The Man From U.N.C.L.E akan berhasil bagi beberapa penonton yg ingin melepaskan sejenak pikirannya. Formula-formula usang yg ada di dalam film The Man From U.N.C.L.E setidaknya berhasil menjadikannya menjadi Popcorn movie buat rehat sejenak berdasarkan beberapa beban pikiran penonntonnya.
Tak mempunyai ambisi buat sebagai yg tidak sama membuat The Man From U.N.C.L.E garapa Guy Ritchie ini pun tampil tak maksimal . Segala upaya Guy Ritchie buat membuat adegan di pada The Man From U.N.C.L.E se-asyik mungkin tak sepenuh dicapai. Ada beberapa poin yang kehilangan kekuatan buat menjadikan The Man From U.N.C.L.E sajian yg tampil prima. Sayangnya, Guy Ritchie lupa menghadirkan emosi di setiap durasinya supaya The Man From U.N.C.L.E berhasil memikat penontonnya di pada durasinya yang relatif panjang.
Posting Komentar